Petani
KAPAS menjadi simbol penting sebuah pertempuran berlarut-larut, melelahkan, dan makan ongkos besar. Di Hong Kong, tuan rumah hajatan akbar World Trade Organization, ihwal kapas itu tak juga tuntas. Tuntutan negara berkembang, juga Eropa, agar Amerika memangkas subsidi bagi petani kapas, tak usai dibahas.
Rapat di Hong Kong itu sebetulnya punya tujuan mulia. Agenda Pembangunan Doha, yang macet sejak 2003, diharapkan selesai. Yang terjadi sebaliknya: kesenjangan negara berkembang yang tergabung dalam G-20 dengan negara maju di G-7 makin melebar. Biangnya produk pertanian.Tahun lalu, total perdagangan barang dan jasa dunia sekitar US$ 11 trilyun. Sebanyak US$ 800 milyar berupa produk pertanian. Persentasenya kecil. Tapi masalah pertanian selalu menempati isu sensitif.
Kecil di rupiah, besar di massa; modal utama politikus untuk mendapat kursi.Di Arkansas, Amerika Serikat, pergulatan atas nama rakyat itu terjadi. Pemerintah federal tiap tahun menyubsidi US$ 360.000 per petani --tak terbayang gedenya bagi petani kita. Bantuan itu membuat Arkansas sukses sebagai penghasil sepersepuluh kapas Amerika. Tapi gelontoran dolar sebesar itu dipandang menabrak rambu. Negara tetangga, Brasil, membawa kasus subsidi kelewat gede ini ke WTO.
Presiden George Bush lalu memangkas subsidinya menjadi US$ 250.000. Menipis, tapi masih kelewat besar ketimbang yang diterima dari pemerintah oleh petani di negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Ganti kini Senator Partai Demokrat, Blanche Lincoln, yang memang dari keluarga petani, berkampanye menentang Bush.Para petani kapas juga menjerit. Mereka butuh subsidi besar agar kapasnya bisa bersaing. Meski menggunakan imigran gelap, upah mereka jauh di atas buruh tani di negara berkembang, yang kadang hanya US$ 1 per hari.
Sejak didirikan pada 1995 sebagai metamorfosis Perjanjian Bersama dalam Tarif dan Perdagangan (GATT), WTO diharapkan menjadi hakim adil atas ketimpangan perniagaan dunia. Negara yang culas dalam perdagangan dihukum. Indonesia pernah diberi sanksi dalam kasus mobil nasional Timor. Sebaliknya, dalam dumping kertas lawan Korea, Indonesia menang.
Dalam prakteknya, WTO dinilai masih memble. Bahkan Profesor Arvind Panagriya, guru besar ekonomi Columbia University, School of International and Public Affairs, New York, menilai negara majulah biang proteksi produk pertanian. WTO belum bisa membuat alur perdagangan menjadi adil dan lancar (Agricultural Liberalization and the Least Developed Countries: Six Fallacies, 2005).
Apa yang disampaikan Arvind itu bisa kita lihat dengan kasatmata: betapa dominan negara maju dalam setiap pengambilan keputusan. Di samping itu, definisi ala WTO, meski detail, masih bisa dimainkan.''Subsidi'' dan ''proteksi'', misalnya. Dua kata yang cenderung menabrak rambu perdagangan adil itu faktanya bisa ditarik ke mana pun. Masyarakat Eropa, yang gencar mengajari negara lain taat hukum, dewasa ini memberi subsidi teramat besar bagi petani. Total sekitar US$ 350 milyar subsidi negara maju untuk petani. Tapi, baik Amerika maupun Eropa sama-sama menuding: pihak ''sana'' sebagai pelanggar aturan WTO.
Dengan kondisi yang centang perenang itu, kita bisa memaklumi bila petani Korea Selatan, Indonesia, Brasil, tak ragu nglurug ke Hong Kong. Mereka berdemo, menuntut produk pertanian tak diliberalkan.Tingginya subsidi negara maju membuat kita maklum bila produk pertanian Indonesia terasa amat mahal. Namun berharap pihak lain memangkas proteksinya begitu saja tak gampang.
Karena itu, program efisiensi pertanian di dalam negeri haruslah terus berjalan. Saluran irigasi kudu dipermak. Lahan petani yang kecil-kecil dan tersekat oleh pematang, yang membuat pengolahan pertanian tak efisien, harus ditambal. Sayangnya, konsolidasi lahan pertanian, yang berhasil dilaksanakan di Cianjur, tak bisa berlangsung di tempat lain.Memprotes WTO mungkin perlu. Tapi masih banyak hal nyata lain yang bisa kita lakukan.
iwan@gatra.com[Lensa, Gatra Nomor 6 Beredar Senin, 12 Desember 2005]