<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11637458\x26blogName\x3dGreen+Visions\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://greenvisions.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://greenvisions.blogspot.com/\x26vt\x3d-8785138192905160848', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Thursday, October 19, 2006

Yunus dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Yunus dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Rabu, 18 Oktober 2006
TEMPO Interaktif,

Jakarta: Apakah orang miskin dapat dipercayai untuk mengelola kredit? Almarhum Profesor Mubyarto yakin seyakin-yakinnya penduduk miskin dapat dipercaya untuk mengelola dana, tentu dengan bantuan pemandu di sana-sini. Berdasarkan keyakinan itu, diluncurkanlah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada 1994. Dengan filosofi serupa bahwa penduduk miskin di pedesaan bisa dipercaya, giat bekerja, dan punya kecakapan yang memadai, guru besar ekonomi di Universitas Chittagong, Prof Dr Muhammad Yunus, berusaha mengentaskan nasib mereka di Bangladesh. Yunus optimistis bahwa ketika penduduk miskin diberi kredit, mereka pasti dapat mengembalikan, dengan dukungan sistem dan prosedur yang kondusif.

Bertolak dari sini, lahirlah Grameen Bank (GB) pada 1974.Pembentukan GB sempat terbentur undang-undang perbankan setempat, terutama soal agunan kredit. Padahal keistimewaan ide Yunus justru terletak pada tidak adanya persyaratan agunan. Buat Yunus, mustahil mensyaratkan agunan bagi penduduk miskin di Bangladesh. Di negara itu, agunan yang paling lazim dan bisa diterima kreditor adalah aset tanah. Padahal kelompok sasaran Yunus adalah penduduk termiskin dan buta huruf yang landless. Fokus Yunus selanjutnya bagaimana agar kredit itu selamat dan bisa dikembalikan, agar uang dapat berputar untuk membantu penduduk miskin lain.Dalam prakteknya, Yunus meniru modus para pelepas uang (Prasetiantono, dkk, 1997).

Keunggulan rentenir adalah kemampuannya mengakomodasi debitor. Pertama, menggunakan sistem door to door yang amat efektif menjaring nasabah. Ini cermin kegigihan dan dedikasi yang tinggi dari para debitor. "Armada" rentenir biasanya gigih menebar kredit dan gigih pula mengumpulkan pembayaran kembalinya dari hari ke hari. Kedua, rentenir memberikan fleksibilitas yang tinggi dalam operasinya. Rentenir tidak pernah memberlakukan birokrasi bertele-tele, seperti syarat lembaga keuangan formal. Fleksibilitas semacam ini diperlukan di Bangladesh yang 67 persen penduduknya buta huruf.Namun, modus semacam ini berpeluang membuka masalah. Pertama, praktek door to door perlu "armada" tagih dengan personalia dalam jumlah besar, yang berarti memakan biaya operasional tinggi. Kedua, fleksibilitas yang tinggi dan tiadanya agunan menyebabkan risiko kredit juga tinggi. Untuk mengkompensasi kedua masalah itu, GB menerapkan suku bunga yang sama dengan pasar. Agar kredit dapat kembali, "armada" tagih beroperasi dalam periode mingguan. Cara ini mampu menekan kredit macet hanya 2 persen. Berbeda dengan rentenir yang dominan kredit konsumtif, GB hanya mengenal tiga jenis kredit: kredit untuk menciptakan pendapatan produktif, kredit membangun rumah, dan kredit musiman untuk tanaman musiman.

Secara kultural, GB menanamkan disiplin kepada para peminjam. Dari setiap lima orang peminjam, dibentuk satu kelompok. Ketika ada anggota kelompok yang menunggak, anggota kelompok lain ikut bertanggung jawab. Kinerja salah satu anggota membawa konsekuensi kredibilitas satu kelompok.Tidak seperti renternir yang ekspansif dan maximum profit, GB tidak mengenal sifat ekspansif. "Armada" dan jumlah cabang memang ditebar di mana-mana (2.226 cabang di 71.371 desa), tapi plafon kredit bagi setiap peminjam tetap dijaga. Kredit terendah senilai 50 taka (di atas US$ 1), yang tertinggi 60 ribu taka (US$ 1.500). Nilai kredit rata-rata 6.000 taka (US$ 160). Angka-angka ini menunjukkan komitmen GB kepada penduduk miskin, selain menjaga prudential banking untuk menghindari kredit macet. Yunus tidak memilih bentuk koperasi atau pegadaian. Di Bangladesh, koperasi yang reputasinya jelek. Idenya bagus, tapi dalam prakteknya seperti rentenir. Adapun pegadaian perlu agunan. Ini nonsens didirikan di Bangladesh, yang masuk deretan negara termiskin di dunia. Namun, spirit berkoperasi mewarnai operasi GB. Ada anggota, ada rapat anggota, ada tanggung jawab, ada rasa memiliki, serta ada kebersamaan, loyalitas, dan demokrasi. Butir-butir inilah yang menjadi substansi terpenting semangat berkoperasi.GB menjadikan kaum perempuan sebagai target group.

Mengapa? Pertama, dari segi ketenagakerjaan, umumnya perempuan bukan tenaga kerja produktif, sehingga dengan bantuan kredit mereka bisa melakukan usaha produktif di sela-sela mengurus rumah tangga. Kedua, secara kultural, perempuan terbiasa mengurus ekonomi rumah tangga (manajer keuangan). Ketiga, secara emosional, perempuan lebih dekat dengan anak-anaknya. Perempuan jadi kunci pembentukan kualitas sumber daya manusia anak-anaknya. Keempat, kredit merupakan jembatan emas menuju persamaan hak terhadap lelaki. Bantuan kredit kepada mereka tidak hanya meningkatkan usaha ekonomi dan kesejahteraan keluarganya, tapi juga berdampak meluas terhadap warga masyarakat lain.

Hasil sejumlah survei menunjukkan: persentase pekerja di pedesaan umumnya 4 persen, di desa GB sebesar 5 persen; persentase jumlah anggota keluarga yang bekerja di desa GB 1,75, di desa non-GB 1,43 orang; jam kerja di desa GB meningkat dari 6 jam jadi 18 jam; penghasilan rumah tangga nasabah GB lebih besar 28 persen ketimbang bukan nasabah, bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata rumah tangga di desa yang tak ada GB pendapatannya 43 persen lebih tinggi (Rasid, 1997). Studi Hashemi dan Schuler (1996) menemukan: ada korelasi signifikan antara keanggotaan GB dan pemberdayaan kehidupan sosial (dalam kontrasepsi; pemberontakan sistem patriarkat; dan politik). Artinya, keberadaan GB selain membuat ekonomi warga miskin "menggeliat", secara sosial-politik mereka teberdayakan. Tidak salah, panitia Nobel mengganjar Yunus dengan Nobel Perdamaian 2006. Sejauh ini, tak terhitung program dan usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Tanpa mengecilkan hasil yang dicapai, sampai sekarang penduduk miskin masih bejibun. Dua tahun Presiden Yudhoyono berkuasa, kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan tidak menurun, tapi justru naik. Di tengah membaiknya berbagai indikator makroekonomi, setahun terakhir kemiskinan justru meningkat dari 16 persen menjadi 17,75 persen, gizi buruk dari 1,8 juta menjadi 2,3 juta, dan pengangguran dari 10,4 persen menjadi 11,85 persen. Apa yang salah dengan program antikemiskinan di sini? Tak lain karena upaya pemerintah mengentaskan masyarakat miskin dan memberdayakan ekonomi rakyat direduksi hanya dilihat dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal merupakan segala-galanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam: keahlian dan keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi (Suyanto, 1997; Dieter Evers, 1995; Sutojo dkk, 1994). Menurut Chambers (1987), ada lima ketidakberuntungan pada kelompok rumah tangga miskin, yaitu kerentanan, kelemahan fisik, derajat isolasi, keterbatasan pemilikan aset, dan ketidakberdayaan.Upaya pemberdayaan warga miskin tidak jauh dari penanganan hal-hal di atas. Pemberian "kail", dan bukan "ikan", sebagai strategi pemberdayaan ekonomi rakyat pun dirasa tidak memadai.

Kelompok miskin juga perlu diajari bagaimana cara memancing yang baik. Bahkan ada persoalan mendasar bahwa kelompok miskin yang diberdayakan itu juga perlu dijamin agar "sungai" atau "kolam" yang dipancing tidak keruh dan sustainable. Bagaimana mereka bisa mancing jika kolamnya sudah dikaveling orang lain?Mengapa Yunus berhasil memberdayakan ekonomi rakyat? Pertama, GB secara nyata meletakkan mekanisme demokrasi ekonomi secara riil. Ini diwujudkan dalam bentuk akses yang sama setiap orang terhadap kredit. Yunus berargumen, setiap individu bebas mengejar kepentingan ekonominya, sejauh individu-individu itu memiliki akses yang sama untuk memasuki pasar. Kedua, operasi GB hidup dalam konteks sosial yang demokratis. Kemiskinan tidak jadi obyek politik--seperti yang terjadi di Indonesia selama ini, sehingga pemerintah berkepentingan menetapkan garis kemiskinan menurut selera.

Kredit yang diberikan GB justru mampu memerangi ekstremitas politik di Bangladesh. Berkurangnya marginalisasi ekonomi ternyata mampu mengurangi marginalisasi politik. Ketiga, kelompok sasaran dibina secara intensif, dari pengarahan tentang tanggung jawab kredit, cara pengembalian beserta kewajiban pembayaran bunga, hingga rate income generation regeneration (uji kelayakan). Tak mengherankan, kini konsep GB diadopsi di puluhan negara. Bisakah kita belajar dari Yunus dan GB untuk memberdayakan ekonomi rakyat?

Khudori, PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

0 Comments:

Post a Comment

<< Home