Kompas Cyber Media (KCM)
AKIBAT krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat Indonesia tidak punya pilihan selain meminta bantuan keuangan dan teknis pada Dana Moneter Internasional (IMF). Membungkuknya Presiden Soeharto untuk menandatangani letter of intent (LoI) di hadapan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus pada 15 Januari 1998, menunjukkan menyerahnya republik ini pada aturan dan persyaratan yang ditentukan IMF.
KENYATAANNYA, Indonesia memang menjadi good boy yang patuh melakukan segala hal yang diminta IMF dalam butir-butir LoI, yang seolah-olah dibuat oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Kepatuhan yang tidak banyak manfaatnya, karena resep yang diterapkan IMF setelah lebih dari lima tahun mengontrol kebijakan ekonomi Indonesia tidak kunjung menyehatkan negeri ini, malah menimbulkan kebijakan yang kontraproduktif.
Pinjaman yang diberikan IMF untuk menyehatkan neraca pembayaran ternyata sama sekali tidak meningkatkan cadangan devisa neto, malah menutup kemungkinan Indonesia untuk mendapat pinjaman guna pembiayaan proyek. Justru beban utang yang bertambah sampai dua kali lipat. Untuk kewajiban utang dalam negeri, program IMF menyebabkan Indonesia memiliki utang Rp 650 triliun.
Rekomendasi IMF yang kompetensinya pada bidang ekonomi makro juga melebar pada bidang perbankan, pertanian, dan masalah lain. Rekomendasi IMF pada LoI pertama untuk melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997, menimbulkan kepanikan masyarakat yang luar biasa.
Penutupan bank-bank tersebut memudarkan kepercayaan masyarakat pada bank. Masyarakat menarik dana besar-besaran dari bank lainnya yang tidak dilikuidasi. Tidak kurang dari Rp 660 triliun harus dikeluarkan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional.
Tuntutan IMF agar Indonesia mencabut larangan ekspor kayu gelondongan tahun 1998, memperumit masalah illegal logging. Masalah yang bermula dari kekacauan institusi Indonesia mengelola hutan, diperparah karena tuntutan IMF dan semakin sulit dihentikan.
Daftar dosa IMF bertambah panjang dengan dipaksakannya pemerintah mengurangi subsidi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) dalam kondisi masyarakat yang belum pulih dari krisis. Penolakan massa pada kenaikan tarif dasar listrik, BBM, dan tarif telepon secara serempak Januari lalu, berkembang menjadi unjuk rasa yang menjadi aksi rakyat terbesar dalam masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Ditambah lagi keinginan IMF yang memaksakan bea masuk gula dan beras turun sampai nol persen saat terjadi kelebihan produksi tiga tahun lalu, yang akan mematikan petani yang sebelumnya sudah menderita.
Tidak banyak yang berubah dari kondisi perekonomian Indonesia, karena IMF mengeluarkan diagnosa dan resep obat yang nyaris sama untuk setiap pasiennya berdasarkan pendekatan pemrograman finansial yang sederhana. Padahal, setiap negara memiliki masalah dan struktur ekonomi yang berbeda-beda.
Tak heran, kondisi ini membuat rakyat dan sejumlah ekonom gemas dan geregetan. Kehadiran IMF dengan skenario pasarannya terbukti tidak banyak menolong ekonomi Indonesia, malah dalam beberapa hal membuatnya menjadi lebih buruk. Angka pengangguran, misalnya, terus meningkat sampai 40 persen, sehingga jumlah pencari kerja di Indonesia hampir sama dengan jumlah penduduk Argentina yang banyaknya 37 juta jiwa.
MENJELANG berakhirnya pemberian pinjaman dalam bentuk Extended Fund Facility (EFF) dari IMF, akhir tahun ini, sikap pro dan kontra mengerucut pada pilihan yang diambil Indonesia setelah keluar dari IMF. Bertentangan dengan kecenderungan kuat pemerintah untuk memilih opsi post program monitoring (PPM) yang masih berada dalam pengawasan IMF, sejumlah ekonom memilih untuk langsung melepaskan diri tanpa pengawasan IMF lagi.
Argumentasi pertama yang disampaikan, Indonesia memiliki cadangan devisa yang cukup untuk membayar lunas pinjaman yang tersisa. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie menegaskan, pelunasan pinjaman tidak akan membahayakan keuangan negara.
Cadangan devisa saat ini sekitar 34,1 miliar dollar AS, dengan pinjaman IMF akhir Maret lalu sebesar 8,4 miliar dollar AS dan sampai akhir 2003 bertambah menjadi 9,2 miliar dollar AS. Jika pinjaman ini dilunasi sekaligus, cadangan devisa yang dimiliki masih sebesar 24,9 miliar dollar AS. Jumlah ini cukup untuk membiayai impor selama 5,2 bulan.
Dengan cadangan yang sangat kuat dan diperkirakan akan menguat terus, Kwik menilai tidak ada gunanya memilih opsi PPM dan membayar sampai sisa utang Indonesia di bawah kuota anggota IMF sebesar 3 miliar dollar AS. "Mengapa menyisakan utang jika cadangan kita sangat kuat untuk melunasi utang? Lagi pula, jika dilunasi seluruhnya kita terbebas dari kewajiban membayar bunga," ujar Kwik.
Kemungkinan turunnya kepercayaan dunia internasional bila Indonesia nekat mengeluarkan uang dari cadangan devisa dalam jumlah besar sekaligus dinilai tidak beralasan. Lagi pula, pinjaman IMF sebesar 8,4 miliar dollar AS yang saat ini berada dalam cadangan devisa negara tidak boleh dipergunakan sampai sisa cadangan devisa sebesar 25,7 miliar dollar AS habis dipakai.
Argumennya, daripada tidak bisa dipakai, lebih baik pinjaman itu dikembalikan seluruhnya. Seandainya kotak besar berisi cadangan devisa 25,7 miliar dollar AS karena suatu sebab habis dua atau tiga tahun mendatang, kotak kecil berisi pinjaman IMF pun tidak banyak berguna karena sudah dikurangi cicilan setiap tahun lewat opsi PPM. Kesimpulannya, buat apa pinjaman itu dipertahankan dalam cadangan devisa?
Pengamat ekonomi dari Indef, Drajad Wibowo, mengatakan, keuntungan opsi PPM hanya dinikmati dalam jangka pendek. Sebagai opsi yang paling minim risikonya, PPM menjamin stabilisasi fiskal karena IMF masih bisa membantu penjadwalan utang melalui fasilitas Paris Club sampai 3 miliar dollar AS. Lagi pula, opsi ini yang ditempuh negara-negara lain seperti Thailand, Korea Selatan, dan Filipina.
Namun, berbeda dengan negara lain, Indonesia dirawat IMF selama lima tahun, jauh lebih lama dari negara-negara tersebut. Sehingga, biaya jangka panjang yang ditanggung Indonesia jauh lebih besar daripada keuntungan jangka pendek yang diperoleh.
Biaya tersebut termasuk privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara besar-besaran sehingga aset yang ada dijual di bawah harga yang semestinya, dan aset produktif dilepas tanpa persiapan yang matang sebelumnya. Selain itu, tingginya angka pengangguran karena program IMF hanya memperhatikan stabilitas fiskal dan menafikan efek sosialnya. Opsi PPM juga tidak bisa mengatasi masalah jangka panjang yang akan dihadapi ekonomi Indonesia karena reformasi ala IMF, yaitu ancaman fiskal karena utang luar negeri dan utang dalam negeri.
JIKA pemerintah berani mengambil sedikit risiko dengan membayar lunas seluruh utang IMF, kekhawatiran adanya kesenjangan fiskal (financing gap) dapat diantisipasi dengan rekayasa keuangan. Indonesia bisa memanfaatkan bunga pinjaman dari negara lain yang cukup rendah, seperti Malaysia yang besarnya 6-7 persen dan Jepang yang hanya 2 persen, dengan melakukan project financing swap.
Dengan memanfaatkan selisih bunga yang cukup besar, Indonesia bisa menghemat Rp 10 triliun sampai Rp 12 triliun dari Rp 55 triliun yang dicadangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar bunga obligasi tahun ini. "Kekhawatiran jangka pendek bisa diatasi dengan berani melakukan model tukar guling seperti itu," kata Drajad.
Cara lain untuk mengurangi financing gap dapat dilakukan dengan optimalisasi pemakaian gas bumi, sekuritisasi aset BUMN, dan menambah jumlah wajib pajak. Perlu juga dilakukan negosiasi ulang terhadap dana alokasi umum yang dituntut daerah. "Cara mengatasi financing gap benar-benar tergantung kemauan kita, tidak tergantung pada kebijakan orang lain. Meskipun hal ini tidak mudah dilakukan, di situlah letak tantangannya," ujar Drajad.
Pelaku pasar dan masyarakat diyakini tidak akan kehilangan kepercayaan bila Indonesia membayar langsung seluruh pinjaman IMF. Selain karena cadangan devisa Indonesia sangat mencukupi, waktu yang ada cukup untuk mempersiapkan masyarakat dan pelaku usaha tentang kemungkinan ini.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, menegaskan, financing gap hanya terjadi pada anggaran, bukan pada realisasinya. Hal itu bisa ditanggulangi antara lain dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara. "Perlu dilihat anggaran belanjanya, ada pemborosan atau tidak. Mengapa bukan masalah itu yang diselesaikan lebih dulu?" gugat Revrisond.
Masalah pokok exit strategy Indonesia, lanjut Revrisond, bukanlah pada opsi apa yang dipilih, tetapi pada agenda reformasi yang harus dilaksanakan setelah Indonesia keluar dari IMF. Kebijakan ekonomi yang diambil pasca-IMF harus mengutamakan kepentingan rakyat, seperti amanat konstitusi.
Agenda IMF selama ini didasarkan pada konsensus Washington yang menekankan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi BUMN. Keempat agenda ini lebih banyak merugikan rakyat karena social cost yang dikeluarkan besar sekali.
"Kebijakan IMF seperti penghapusan subsidi secara serentak dan privatisasi BUMN mudah memicu unjuk rasa. Baru sampai tahap pelaksanaan saja sudah terjadi kerusuhan sosial, ini berarti kebijakan tersebut tidak memperhatikan kepentingan rakyat," ujar Revrisond.
Revrisond optimis Indonesia mampu mandiri dan tetap bertahan pasca-program IMF. Indonesia dapat memilih sendiri kebijakan yang tepat dengan situasi dan kondisi negara ini tanpa perlu didikte lembaga atau negara lain. "Lagi pula, keluar dari program IMF tidak berarti kita keluar dari keanggotaan IMF," ujarnya.
Senada dengan Revrisond, Drajad mengungkapkan, yang terbaik adalah Indonesia bisa menentukan kebijakan ekonominya sendiri sesuai dengan masalah yang dihadapi. IMF dinilai terlalu memudahkan masalah, karena kebijakan ekonomi Indonesia tidak hanya berhubungan dengan kondisi fiskal, tetapi juga masalah sosial seperti pengangguran, eforia desentralisasi, dan reformasi.
"Sayangnya, perdebatan ini keluar dari tataran akademis dan masuk ke wilayah politik. Semakin berlarut-larut, masyarakat semakin tidak tenang. Lebih baik kelompok yang berbeda pendapat duduk satu meja dan membuat keputusan bersama," kata Drajad. (was)