<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11637458\x26blogName\x3dGreen+Visions\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://greenvisions.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttps://greenvisions.blogspot.com/\x26vt\x3d-6691947821230185181', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Friday, July 06, 2007

SOS Hutan Indonesia

Kita sudah lama mengikuti berita tentang kerusakan hutan Indonesia yang dari ke hari ke hari keadaannya semakin parah. Pemerintah bukan tidak awas tentang proses kerusakan ini. Hanya saja, tindakan nyata pemerintah masih ditunggu masyarakat banyak.

Bahwa perusakan itu juga dilakukan rakyat kecil untuk menyambung hidup adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Tetapi perusakan besar-besaran melalui illegal logging (pembalakan liar) adalah tanggung jawab sepenuhnya manusia jahat yang telah lumpuh hati nuraninya, demi keuntungan pribadi yang hampir tanpa batas.

Hutan Indonesia telah lama menjadi mangsa empuk bagi manusia tipe ini. Karena hukum dapat dipermainkan dan aparat penegak hukum bisa diajak berunding untuk melicinkan jalan bagi perbuatan jahat ini. Inilah di antara masalah Indonesia yang sangat serius.

Dalam pembicaraan saya dengan Komisaris Jenderal (Komjen) Made Mangku Pastika, 12 Juni lalu di Denpasar, ada usul yang disampaikannya untuk penegakan hukum ini. Sewaktu saya minta pendapatnya tentang jalan singkat untuk memecahkan masalah Indonesia, termasuk bagaimana menyelamatkan hutan, Pastika memberi saran sebagai berikut.

Siapkan 20.000 polisi, 5.000 jaksa, dan 2.000 hakim yang bersedia berjibaku dalam menegakkan hukum. Karena aparat jenis ini punya tugas demikian berat dan penuh risiko, Pastika mengusulkan agar mereka diberi gaji 10 kali lipat dari gaji yang mereka terima sekarang. Saya rasa, usul Pastika ini cukup masuk akal, sebab dengan aparat yang ada sekarang ini, harapan untuk penegakan hukum masih mengawang-awang, sekalipun KPK telah dibentuk sejak empat tahun lalu.

Kembali pada masalah hutan. Data yang ada pada pemerintah menunjukkan, dari total 120,5 juta hektare wilayah hutan Indonesia, sekitar 59 juta hektare dalam kondisi mencemaskan, terutama untuk Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Madura. Jika tindakan cepat dan tepat tidak diambil, pada saatnya nanti pulau-pulau itu akan kering kerontang. Akibatnya, sumber kehidupan menjadi tak tertolong lagi.

Pada Akhir 2006, Walhi berteriak tentang kerusakan hutan Pulau Jawa yang padat penduduk. Menurut catatan Walhi, pada 2004, hutan yang tersisa di Pulau Jawa tinggal 2.926.946 hektare, seluas 629.705 hektare (21,51%) dalam keadaan rusak berat. Juga dicatat bahwa 83% wilayah Indonesia rawan bencana. Banjir, tanah longsor, dan polusi yang semakin parah berkaitan erat dengan kerusakan hutan ini.

Bahwa pemerintah cukup menyadari tentang kerusakan hutan ini dapat dilihat dari keterangan berikut. Pada awal 2007, pemerintah telah menetapkan langkah baru dalam rehabilitasi hutan dan lahan di bawah payung tiga menko: Kesra, Perekonomian, dan Polhukam dengan surat keputusan bersama yang mereka keluarkan. Sebagai ujung tombak untuk melaksanakan langkah baru itu, Menhut M.S. Kaban diberi tanggung jawab.

Ada dua program yang berkaitan untuk merealisasikan langkah itu. Pertama, melakukan rehabilitasi hutan dan lahan. Kedua, sebagai induk langkah pertama telah dicanangkan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Biaya untuk pelaksanaan program ini berasal dari APBN murni dan dari dana reboisasi. Tahun 2006 telah dikeluarkan biaya sebesar Rp 4,2 trilyun untuk percepatan reboisasi hutan seluas 900.000 hektare.

Kita bisa membayangkan, dengan kerusakan hutan yang telah mencapai angka 59%, seperti tersebut di atas, maka berapa ratus trilyun rupiah yang harus disiapkan, sementara keuangan negara masih juga belum stabil. Negara kita yang sama-sama kita cintai ini tampaknya tidak pernah putus dari masalah serius, sementara kelakuan politisi kita pada umumnya seperti orang tak tahu diri.

Sekiranya usul Komjen Pastika tadi dinilai masuk akal dan pemerintah mau mempertimbangkannya, mengapa tidak dicoba? Siapa tahu, dengan siapnya para penegak hukum yang mau berjibaku, kepercayaan rakyat pada pemerintah akan dapat dipulihkan secara berangsur. Apatisme rakyat banyak terhadap kemampuan pemerintah dalam menegakkan hukum akan berangsur hilang. Indonesia sebagai rechtsstaat (negara hukum) yang selama ini lebih banyak dibicarakan akan berubah menjadi tindakan nyata.

Hutan kita yang sudah dalam kondisi SOS (save our soul/selamatkan jiwa kami) sangat menanti tindakan tegas dan terarah dari pemerintah melalui kesiapan aparatnya untuk menyelamatkan masa depan hutan yang sekaligus menyangkut masa depan kita semua. Sebagian hutan di Indonesia juga berfungsi sebagai paru-paru dunia, yang seluruh penduduk bumi memerlukannya.

(Sumber data tentang hutan di Indonesia berasal dari harian Republika, 28 Desember 2006, halaman 22 dan harian Jawa Pos, 23 Januari 2007, halaman 15).
Ahmad Syafii MaarifGuru besar sejarah, pendiri Maarif Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 22 Juni 2007]

Saturday, November 04, 2006

Tanah Pertanian - Bagi-bagi Lahan untuk Si Gurem

Menjelang akhir tahun 2006, nasib petani belum juga beranjak baik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, setiap tahun jumlah petani gurem --rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari setengah hektare-- terus meningkat. Menurut data BPS, tiga tahun lalu saja jumlahnya sudah mencapai 13,7 juta rumah tangga di seluruh Indonesia.

Pada 1993 sampai 2003, jumlah petani gurem bertambah rata-rata 2,4% setahun. Soal kesejahteraan pun sami mawon. Daya beli petani masih terhitung rendah jika dibandingkan dengan pendapatannya. Kenyataan ini membuat Menteri Pertanian Anton Apriantono prihatin. Ia pun bertekad menyejahterakan petani. Caranya dengan meningkatkan kepemilikan tanah oleh petani.

Untuk itu, pemerintah melalui Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan mencanangkan pembagian lahan seluas lebih dari 10 juta hektare untuk pertanian. Selain itu, pihak Departemen Kehutanan (Dephut) juga menyediakan lahan seluas 9 juta hektare untuk dijadikan kawasan hutan produksi. Lahannya tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan rencananya Papua.

Dari lahan seluas itu, 60% akan diberikan kepada masyarakat petani. Sisanya bakal diberikan kepada investor asing dan dalam negeri. Untuk lahan pertanian, menurut Anton Apriantono, diambilkan dari 8,12 juta hektare lahan hasil konversi hutan yang dicabut izinnya dan 2 juta hektare adalah tanah Perusahaan Umum Perhutani. "Sebanyak 1,5 juta tanah Perhutani sudah boleh dipakai," kata Anton.

Sementara itu, lahan untuk kawasan hutan tanaman industri, menurut Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban, berasal dari lahan kritis yang diabaikan para pengelolanya. "Kami melanjutkan pencadangan lahan yang sudah dilakukan tetapi selama 15 tahun tidak dilakukan pengembangan usaha," tuturnya.

Dengan program ini, pemerintah berharap kepemilikan tanah bagi petani naik enam hingga 16 kali lipat pada tahun depan. Khusus untuk pertanian, ujar Anton, kepemilikan tanah petani gurem yang saat ini hanya sekitar 0,3 hektare akan ditingkatkan menjadi 2-5 hektare.

Menteri kelahiran Serang, 5 Oktober 1959, itu melihat adanya kaitan antara kesejahteraan petani dan semakin sempitnya tanah yang mereka miliki. Lahan sempit menjadi faktor yang memperburuk kehidupan petani selama 10 tahun terakhir. "Tidak mungkin petani bisa sejahtera tanpa kepemilikan tanah yang memadai," tutur doktor kimia pangan lulusan Universitas Reading itu.

Selama ini, menurut Anton, meski ada peningkatan kesejahteraan, sebarannya belum merata. Hal itu bisa dilihat dari angka nilai tukar petani (NTP). Angka ini adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase.

Besaran NTP bisa menjadi indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Secara nasional, tahun ini NTP naik dari 102,35 menjadi 103,15. Namun per provinsi, kenaikan ini tidak merata karena ada di beberapa daerah yang justru NTP-nya turun.

Menurut Dr. Ali Rosidi, Direktur Statistik Keuangan dan Harga BPS, NTP berhubungan erat dengan perkembangan tingkat pendapatan petani. Dengan adanya kenaikan harga produk pertanian, dengan asumsi volume produk tidak berkurang, pendapatan petani bisa bertambah. "Karena itu, peningkatan lahan untuk meningkatkan produksi pertanian sangat penting," katanya.

Ia termasuk yang berharap program pemberian lahan kepada petani ini bukan sekadar wacana. Sebelumnya, kata Ali, pernah pula ada wacana serupa, tapi urung terealisasi. "Wacananya bagus, namun implementasinya harus dimonitor apakah terwujud atau tidak," ujarnya.

Meski begitu, beberapa pihak keberatan dengan program ini, terutama para aktivis lingkungan hidup. Mereka menentang program konversi hutan menjadi lahan pertanian dan hutan produksi. Organisasi kampanye lingkungan hidup, Greenpeace, menuntut Dephut menghentikan pemberian segala bentuk izin konversi lahan. Apalagi, konversi terjadi di ekosistem rawa gambut yang rentan menyebabkan kebakaran hutan.

Mereka sempat melancarkan aksi protes di depan pintu masuk gedung Dephut, Kamis pekan lalu. Diselingi atraksi membuat asap buatan, mereka membentangkan spanduk bertuliskan "Stop Forrest Convertion". Menurut koordinator aksi Hapsoro, pihaknya menuntut agar M.S. Kaban menghentikan seluruh operasi pembersihan lahan di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan.

Menurut Hapsoro, jika Dephut terus memberikan izin konversi lahan gambut bagi perkebunan sawit dan kayu, kebakaran hutan akan menjadi penyakit tahunan. Kegelisahan Greenpeace memang cukup beralasan. Pasalnya, hutan Indonesia merupakan sedikit dari hutan alami dunia yang tersisa di wilayah Asia-Pasifik, meliputi 11% wilayah tersisa. Sedangkan laju kerusakan hutannya mencapai 2,8 juta hektare per tahun.

Dengan kondisi ini, Indonesia, menurut prediksi Bank Dunia, akan kehilangan hutan dataran rendah Sumatera pada 2005. Lalu akan disusul hilangnya hutan lahan basah pada 2010. Apalagi jika konversi lahan terus terjadi.Karena itu, Mubariq Ahmad, Direktur Eksekutif WWF-Indonesia, meminta pemerintah, selain menghentikan pembukaan baru pada lahan gambut, juga merehabilitasi lahan yang telanjur dibuka dan melindunginya.

Atas desakan itu, Menhut M.S. Kaban membantah pihaknya mengonversi lahan yang masih produktif. Menurut dia, program yang dijalankan Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan itu adalah memanfaatkan lahan kritis yang diabaikan para pengelola. Tujuannya, untuk menyejahterakan rakyat.

Lahan-lahan itu, kata Kaban, milik pemerintah, tapi kepada masyarakat diberikan izin pemanfaatan kawasan. Untuk program kehutanan, lahan-lahan itu akan dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri, seperti akasia, sengon, eukaliptus, karet, dan meranti.

Saat ini, ujar Kaban, lahan-lahan itu menganggur setelah ditinggalkan pemilik lama. "Izin mereka pun sudah kami cabut. Karena itu, akan kami tawarkan kepada peminat-peminat baru," tuturnya. Menurut dia, selain tidak produktif, lahan-lahan itu juga tidak mungkin diperbaiki. "Areal itu sudah dicadangkan karena sudah kosong. Kalau dibiarkan, juga tidak bisa lagi jadi hutan," tuturnya.

Dengan dijadikan hutan tanaman industri, saat ini lahan-lahan tersebut bisa memberikan pemasukan bagi negara dan masyarakat. Ia juga meminta agar masuknya swasta asing dalam program ini tidak dipermasalahkan. Saat ini, menurut Kaban, asing sudah beroperasi, seperti perusahaan Marubeni dari Jepang di Sumatera Selatan. Satunya lagi adalah Korindo dari Korea di Kalimantan Tengah. "Mereka sudah mau panen dan tidak bermasalah," katanya.
Ia memahami kekhawatiran para aktivis lingkungan, mengingat di masa lalu program seperti ini hanya dijadikan kedok untuk melakukan illegal logging. Lahan dibagikan untuk dijadikan hutan tanaman produksi, tetapi ternyata hanya diambil kayu hutan alamnya, tidak ditanami tanaman produksi. "Itu dulu bisa terjadi karena bisa di-cincai. Tapi saya jamin, sekarang tidak bisa," ujarnya.

Ia berjanji, pengawasan terhadap program ini akan lebih ketat. Masuknya swasta nasional dan asing pun akan melalui tahapan seleksi. Selain itu, lokasi-lokasi yang diberikan bakal terus dipantau sehingga penyimpangan bisa diminimalkan. "Saya tidak akan main-main. Saya pertaruhkan jabatan ini," katanya.

M. Agung Riyadi dan Deni Muliya Barus
[Nasional, Gatra Nomor 48, Beredar Kamis, 16 Oktober 2006]

Thursday, October 19, 2006

Lunasi Utang untuk Kepentingan Jangka Panjang

Kompas Cyber Media (KCM)
AKIBAT krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat Indonesia tidak punya pilihan selain meminta bantuan keuangan dan teknis pada Dana Moneter Internasional (IMF). Membungkuknya Presiden Soeharto untuk menandatangani letter of intent (LoI) di hadapan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus pada 15 Januari 1998, menunjukkan menyerahnya republik ini pada aturan dan persyaratan yang ditentukan IMF.

KENYATAANNYA, Indonesia memang menjadi good boy yang patuh melakukan segala hal yang diminta IMF dalam butir-butir LoI, yang seolah-olah dibuat oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Kepatuhan yang tidak banyak manfaatnya, karena resep yang diterapkan IMF setelah lebih dari lima tahun mengontrol kebijakan ekonomi Indonesia tidak kunjung menyehatkan negeri ini, malah menimbulkan kebijakan yang kontraproduktif.

Pinjaman yang diberikan IMF untuk menyehatkan neraca pembayaran ternyata sama sekali tidak meningkatkan cadangan devisa neto, malah menutup kemungkinan Indonesia untuk mendapat pinjaman guna pembiayaan proyek. Justru beban utang yang bertambah sampai dua kali lipat. Untuk kewajiban utang dalam negeri, program IMF menyebabkan Indonesia memiliki utang Rp 650 triliun.

Rekomendasi IMF yang kompetensinya pada bidang ekonomi makro juga melebar pada bidang perbankan, pertanian, dan masalah lain. Rekomendasi IMF pada LoI pertama untuk melikuidasi 16 bank pada 1 November 1997, menimbulkan kepanikan masyarakat yang luar biasa.

Penutupan bank-bank tersebut memudarkan kepercayaan masyarakat pada bank. Masyarakat menarik dana besar-besaran dari bank lainnya yang tidak dilikuidasi. Tidak kurang dari Rp 660 triliun harus dikeluarkan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional.

Tuntutan IMF agar Indonesia mencabut larangan ekspor kayu gelondongan tahun 1998, memperumit masalah illegal logging. Masalah yang bermula dari kekacauan institusi Indonesia mengelola hutan, diperparah karena tuntutan IMF dan semakin sulit dihentikan.
Daftar dosa IMF bertambah panjang dengan dipaksakannya pemerintah mengurangi subsidi listrik dan bahan bakar minyak (BBM) dalam kondisi masyarakat yang belum pulih dari krisis. Penolakan massa pada kenaikan tarif dasar listrik, BBM, dan tarif telepon secara serempak Januari lalu, berkembang menjadi unjuk rasa yang menjadi aksi rakyat terbesar dalam masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Ditambah lagi keinginan IMF yang memaksakan bea masuk gula dan beras turun sampai nol persen saat terjadi kelebihan produksi tiga tahun lalu, yang akan mematikan petani yang sebelumnya sudah menderita.

Tidak banyak yang berubah dari kondisi perekonomian Indonesia, karena IMF mengeluarkan diagnosa dan resep obat yang nyaris sama untuk setiap pasiennya berdasarkan pendekatan pemrograman finansial yang sederhana. Padahal, setiap negara memiliki masalah dan struktur ekonomi yang berbeda-beda.

Tak heran, kondisi ini membuat rakyat dan sejumlah ekonom gemas dan geregetan. Kehadiran IMF dengan skenario pasarannya terbukti tidak banyak menolong ekonomi Indonesia, malah dalam beberapa hal membuatnya menjadi lebih buruk. Angka pengangguran, misalnya, terus meningkat sampai 40 persen, sehingga jumlah pencari kerja di Indonesia hampir sama dengan jumlah penduduk Argentina yang banyaknya 37 juta jiwa.

MENJELANG berakhirnya pemberian pinjaman dalam bentuk Extended Fund Facility (EFF) dari IMF, akhir tahun ini, sikap pro dan kontra mengerucut pada pilihan yang diambil Indonesia setelah keluar dari IMF. Bertentangan dengan kecenderungan kuat pemerintah untuk memilih opsi post program monitoring (PPM) yang masih berada dalam pengawasan IMF, sejumlah ekonom memilih untuk langsung melepaskan diri tanpa pengawasan IMF lagi.

Argumentasi pertama yang disampaikan, Indonesia memiliki cadangan devisa yang cukup untuk membayar lunas pinjaman yang tersisa. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie menegaskan, pelunasan pinjaman tidak akan membahayakan keuangan negara.
Cadangan devisa saat ini sekitar 34,1 miliar dollar AS, dengan pinjaman IMF akhir Maret lalu sebesar 8,4 miliar dollar AS dan sampai akhir 2003 bertambah menjadi 9,2 miliar dollar AS. Jika pinjaman ini dilunasi sekaligus, cadangan devisa yang dimiliki masih sebesar 24,9 miliar dollar AS. Jumlah ini cukup untuk membiayai impor selama 5,2 bulan.

Dengan cadangan yang sangat kuat dan diperkirakan akan menguat terus, Kwik menilai tidak ada gunanya memilih opsi PPM dan membayar sampai sisa utang Indonesia di bawah kuota anggota IMF sebesar 3 miliar dollar AS. "Mengapa menyisakan utang jika cadangan kita sangat kuat untuk melunasi utang? Lagi pula, jika dilunasi seluruhnya kita terbebas dari kewajiban membayar bunga," ujar Kwik.

Kemungkinan turunnya kepercayaan dunia internasional bila Indonesia nekat mengeluarkan uang dari cadangan devisa dalam jumlah besar sekaligus dinilai tidak beralasan. Lagi pula, pinjaman IMF sebesar 8,4 miliar dollar AS yang saat ini berada dalam cadangan devisa negara tidak boleh dipergunakan sampai sisa cadangan devisa sebesar 25,7 miliar dollar AS habis dipakai.

Argumennya, daripada tidak bisa dipakai, lebih baik pinjaman itu dikembalikan seluruhnya. Seandainya kotak besar berisi cadangan devisa 25,7 miliar dollar AS karena suatu sebab habis dua atau tiga tahun mendatang, kotak kecil berisi pinjaman IMF pun tidak banyak berguna karena sudah dikurangi cicilan setiap tahun lewat opsi PPM. Kesimpulannya, buat apa pinjaman itu dipertahankan dalam cadangan devisa?

Pengamat ekonomi dari Indef, Drajad Wibowo, mengatakan, keuntungan opsi PPM hanya dinikmati dalam jangka pendek. Sebagai opsi yang paling minim risikonya, PPM menjamin stabilisasi fiskal karena IMF masih bisa membantu penjadwalan utang melalui fasilitas Paris Club sampai 3 miliar dollar AS. Lagi pula, opsi ini yang ditempuh negara-negara lain seperti Thailand, Korea Selatan, dan Filipina.

Namun, berbeda dengan negara lain, Indonesia dirawat IMF selama lima tahun, jauh lebih lama dari negara-negara tersebut. Sehingga, biaya jangka panjang yang ditanggung Indonesia jauh lebih besar daripada keuntungan jangka pendek yang diperoleh.

Biaya tersebut termasuk privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara besar-besaran sehingga aset yang ada dijual di bawah harga yang semestinya, dan aset produktif dilepas tanpa persiapan yang matang sebelumnya. Selain itu, tingginya angka pengangguran karena program IMF hanya memperhatikan stabilitas fiskal dan menafikan efek sosialnya. Opsi PPM juga tidak bisa mengatasi masalah jangka panjang yang akan dihadapi ekonomi Indonesia karena reformasi ala IMF, yaitu ancaman fiskal karena utang luar negeri dan utang dalam negeri.

JIKA pemerintah berani mengambil sedikit risiko dengan membayar lunas seluruh utang IMF, kekhawatiran adanya kesenjangan fiskal (financing gap) dapat diantisipasi dengan rekayasa keuangan. Indonesia bisa memanfaatkan bunga pinjaman dari negara lain yang cukup rendah, seperti Malaysia yang besarnya 6-7 persen dan Jepang yang hanya 2 persen, dengan melakukan project financing swap.

Dengan memanfaatkan selisih bunga yang cukup besar, Indonesia bisa menghemat Rp 10 triliun sampai Rp 12 triliun dari Rp 55 triliun yang dicadangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar bunga obligasi tahun ini. "Kekhawatiran jangka pendek bisa diatasi dengan berani melakukan model tukar guling seperti itu," kata Drajad.
Cara lain untuk mengurangi financing gap dapat dilakukan dengan optimalisasi pemakaian gas bumi, sekuritisasi aset BUMN, dan menambah jumlah wajib pajak. Perlu juga dilakukan negosiasi ulang terhadap dana alokasi umum yang dituntut daerah. "Cara mengatasi financing gap benar-benar tergantung kemauan kita, tidak tergantung pada kebijakan orang lain. Meskipun hal ini tidak mudah dilakukan, di situlah letak tantangannya," ujar Drajad.

Pelaku pasar dan masyarakat diyakini tidak akan kehilangan kepercayaan bila Indonesia membayar langsung seluruh pinjaman IMF. Selain karena cadangan devisa Indonesia sangat mencukupi, waktu yang ada cukup untuk mempersiapkan masyarakat dan pelaku usaha tentang kemungkinan ini.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, menegaskan, financing gap hanya terjadi pada anggaran, bukan pada realisasinya. Hal itu bisa ditanggulangi antara lain dengan meningkatkan efektivitas dan efisiensi belanja negara. "Perlu dilihat anggaran belanjanya, ada pemborosan atau tidak. Mengapa bukan masalah itu yang diselesaikan lebih dulu?" gugat Revrisond.

Masalah pokok exit strategy Indonesia, lanjut Revrisond, bukanlah pada opsi apa yang dipilih, tetapi pada agenda reformasi yang harus dilaksanakan setelah Indonesia keluar dari IMF. Kebijakan ekonomi yang diambil pasca-IMF harus mengutamakan kepentingan rakyat, seperti amanat konstitusi.

Agenda IMF selama ini didasarkan pada konsensus Washington yang menekankan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi BUMN. Keempat agenda ini lebih banyak merugikan rakyat karena social cost yang dikeluarkan besar sekali.

"Kebijakan IMF seperti penghapusan subsidi secara serentak dan privatisasi BUMN mudah memicu unjuk rasa. Baru sampai tahap pelaksanaan saja sudah terjadi kerusuhan sosial, ini berarti kebijakan tersebut tidak memperhatikan kepentingan rakyat," ujar Revrisond.
Revrisond optimis Indonesia mampu mandiri dan tetap bertahan pasca-program IMF. Indonesia dapat memilih sendiri kebijakan yang tepat dengan situasi dan kondisi negara ini tanpa perlu didikte lembaga atau negara lain. "Lagi pula, keluar dari program IMF tidak berarti kita keluar dari keanggotaan IMF," ujarnya.

Senada dengan Revrisond, Drajad mengungkapkan, yang terbaik adalah Indonesia bisa menentukan kebijakan ekonominya sendiri sesuai dengan masalah yang dihadapi. IMF dinilai terlalu memudahkan masalah, karena kebijakan ekonomi Indonesia tidak hanya berhubungan dengan kondisi fiskal, tetapi juga masalah sosial seperti pengangguran, eforia desentralisasi, dan reformasi.

"Sayangnya, perdebatan ini keluar dari tataran akademis dan masuk ke wilayah politik. Semakin berlarut-larut, masyarakat semakin tidak tenang. Lebih baik kelompok yang berbeda pendapat duduk satu meja dan membuat keputusan bersama," kata Drajad. (was)

Seluruh Utang Dilunasi, IMF Tak Bisa Intervensi Indonesia Harus Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Banglades Berpesta

Kompas Cyber Media (KCM)

DHAKA, Sabtu - Banglades larut dalam suasana pesta. Rakyat gembira setelah mendapatkan informasi bahwa pelopor kredit mikro, Muhammad Yunus, menjadi warga Banglades pertama peraih Nobel paling bergengsi, Nobel Perdamaian 2006. Sorak-sorai dan suasana haru terasa di seantero Banglades, Sabtu (14/10).

Aliran ucapan selamat juga terus mengalir dari berbagai sudut dunia, dari pemimpin negara maju dan negara miskin. Di pinggiran ibu kota Dhaka, ratusan orang berkumpul di rumah Yunus dan berlomba memberi ucapan selamat.

Banyak peminjam dana dari Grameen Bank juga turut berkumpul di sekitar rumahnya. Mereka tidak saja ingin memberi salam, tetapi merasakan Nobel untuk Yunus adalah untuk mereka juga. "Inilah saat paling menyenangkan bagi warga Banglades," kata Ansar Ahmed, yang mendoakan agar Yunus sehat dan panjang umur.

Ibu Ahmed pernah mendapatkan pinjaman dari Grameen Bank dan berhasil mengubah status sosial ekonomi keluarga.
"Saya sangat senang karena dia meraih penghargaan atas hasil pekerjaannya yang menguntungkan keluarga kami dan ribuan keluarga lain. Saya ada di sini untuk mengucapkan terima kasih kepadanya atas perbuatannya kepada kami," kata Ahmed.

Pawai di mana-mana

Untuk sejenak, 147 juta penduduk Banglades, yang sebanyak 45 persen hidup di bawah garis kemiskinan, merasakan kebahagiaan. Di berbagai tempat pawai, aksi-aksi meriah dilakukan untuk Nobel pertama bagi Banglades.
Di Distrik Hathazari, di sebelah tenggara Chittagong, pelaksanaan pertama kegiatan operasional Grameen Bank, sekitar 500 orang turun ke jalan. Aksi-aksi mereka ditayangkan di jaringan televisi ATN Bangla.

Di Singair, Distrik Manikganj, bagian tengah Banglades, lebih dari 30.000 orang membunyikan drum. "Nyalalah terang dari Yunus di setiap rumah," demikian sahutan meriah warga itu, yang juga ditayangkan di televisi.

Presiden Iajuddin Ahmed dan Perdana Menteri Khaleda Zia memimpin acara doa nasional dalam rangka memberi ucapan selamat kepada Yunus.
"Seluruh bangsa bangga dengan Nobel pertama untuk setiap warga Banglades. Program kredit mikro Doktor Yunus telah memberikan manfaat kepada jutaan orang," kata Khaleda Zia. Kredit mikro adalah kredit untuk kaum miskin dan usaha informal.

Menteri Luar Negeri M Morshed Khan menyanjung Yunus atas jasanya kepada kelompok paling miskin. "Dia memberi harapan bagi yang putus asa. Dia telah membuat Banglades bangga, dan saya, sebagai teman kecilnya, turut merinding karena bahagianya. Saya turut merasakan keagungannya," ujarnya.

Media Banglades pun tak kalah gencar memberi pujian. "Terima kasih Tuan Banglades," demikian harian Jai Jai Din. "Akhirnya Banglades memiliki seorang panutan dunia," lanjut harian itu.

"Ia satu-satunya ekonom di dunia yang telah menemukan teori ekonomi baru dan bisa diterapkan di akar rumput," kata Wahiduddin Mahmud, ekonom terkenal Banglades, yang mengajar di Universitas Dhaka.

Muhammad Yunus sendiri mengatakan, penghargaan untuknya menjadi dorongan makin kuat untuk memberantas kemiskinan global. "Sangat dimungkinkan, pada tahun 2015 kemiskinan global berkurang menjadi setengah dari sekarang," kata Yunus. Ucapannya itu merujuk pada program PBB, yaitu mengurangi penduduk miskin menjadi setengah pada tahun 2015, dari 1,2 miliar jiwa sekarang ini. (REUTERS/AP/AFP/MON)

Yunus dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Yunus dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Rabu, 18 Oktober 2006
TEMPO Interaktif,

Jakarta: Apakah orang miskin dapat dipercayai untuk mengelola kredit? Almarhum Profesor Mubyarto yakin seyakin-yakinnya penduduk miskin dapat dipercaya untuk mengelola dana, tentu dengan bantuan pemandu di sana-sini. Berdasarkan keyakinan itu, diluncurkanlah program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada 1994. Dengan filosofi serupa bahwa penduduk miskin di pedesaan bisa dipercaya, giat bekerja, dan punya kecakapan yang memadai, guru besar ekonomi di Universitas Chittagong, Prof Dr Muhammad Yunus, berusaha mengentaskan nasib mereka di Bangladesh. Yunus optimistis bahwa ketika penduduk miskin diberi kredit, mereka pasti dapat mengembalikan, dengan dukungan sistem dan prosedur yang kondusif.

Bertolak dari sini, lahirlah Grameen Bank (GB) pada 1974.Pembentukan GB sempat terbentur undang-undang perbankan setempat, terutama soal agunan kredit. Padahal keistimewaan ide Yunus justru terletak pada tidak adanya persyaratan agunan. Buat Yunus, mustahil mensyaratkan agunan bagi penduduk miskin di Bangladesh. Di negara itu, agunan yang paling lazim dan bisa diterima kreditor adalah aset tanah. Padahal kelompok sasaran Yunus adalah penduduk termiskin dan buta huruf yang landless. Fokus Yunus selanjutnya bagaimana agar kredit itu selamat dan bisa dikembalikan, agar uang dapat berputar untuk membantu penduduk miskin lain.Dalam prakteknya, Yunus meniru modus para pelepas uang (Prasetiantono, dkk, 1997).

Keunggulan rentenir adalah kemampuannya mengakomodasi debitor. Pertama, menggunakan sistem door to door yang amat efektif menjaring nasabah. Ini cermin kegigihan dan dedikasi yang tinggi dari para debitor. "Armada" rentenir biasanya gigih menebar kredit dan gigih pula mengumpulkan pembayaran kembalinya dari hari ke hari. Kedua, rentenir memberikan fleksibilitas yang tinggi dalam operasinya. Rentenir tidak pernah memberlakukan birokrasi bertele-tele, seperti syarat lembaga keuangan formal. Fleksibilitas semacam ini diperlukan di Bangladesh yang 67 persen penduduknya buta huruf.Namun, modus semacam ini berpeluang membuka masalah. Pertama, praktek door to door perlu "armada" tagih dengan personalia dalam jumlah besar, yang berarti memakan biaya operasional tinggi. Kedua, fleksibilitas yang tinggi dan tiadanya agunan menyebabkan risiko kredit juga tinggi. Untuk mengkompensasi kedua masalah itu, GB menerapkan suku bunga yang sama dengan pasar. Agar kredit dapat kembali, "armada" tagih beroperasi dalam periode mingguan. Cara ini mampu menekan kredit macet hanya 2 persen. Berbeda dengan rentenir yang dominan kredit konsumtif, GB hanya mengenal tiga jenis kredit: kredit untuk menciptakan pendapatan produktif, kredit membangun rumah, dan kredit musiman untuk tanaman musiman.

Secara kultural, GB menanamkan disiplin kepada para peminjam. Dari setiap lima orang peminjam, dibentuk satu kelompok. Ketika ada anggota kelompok yang menunggak, anggota kelompok lain ikut bertanggung jawab. Kinerja salah satu anggota membawa konsekuensi kredibilitas satu kelompok.Tidak seperti renternir yang ekspansif dan maximum profit, GB tidak mengenal sifat ekspansif. "Armada" dan jumlah cabang memang ditebar di mana-mana (2.226 cabang di 71.371 desa), tapi plafon kredit bagi setiap peminjam tetap dijaga. Kredit terendah senilai 50 taka (di atas US$ 1), yang tertinggi 60 ribu taka (US$ 1.500). Nilai kredit rata-rata 6.000 taka (US$ 160). Angka-angka ini menunjukkan komitmen GB kepada penduduk miskin, selain menjaga prudential banking untuk menghindari kredit macet. Yunus tidak memilih bentuk koperasi atau pegadaian. Di Bangladesh, koperasi yang reputasinya jelek. Idenya bagus, tapi dalam prakteknya seperti rentenir. Adapun pegadaian perlu agunan. Ini nonsens didirikan di Bangladesh, yang masuk deretan negara termiskin di dunia. Namun, spirit berkoperasi mewarnai operasi GB. Ada anggota, ada rapat anggota, ada tanggung jawab, ada rasa memiliki, serta ada kebersamaan, loyalitas, dan demokrasi. Butir-butir inilah yang menjadi substansi terpenting semangat berkoperasi.GB menjadikan kaum perempuan sebagai target group.

Mengapa? Pertama, dari segi ketenagakerjaan, umumnya perempuan bukan tenaga kerja produktif, sehingga dengan bantuan kredit mereka bisa melakukan usaha produktif di sela-sela mengurus rumah tangga. Kedua, secara kultural, perempuan terbiasa mengurus ekonomi rumah tangga (manajer keuangan). Ketiga, secara emosional, perempuan lebih dekat dengan anak-anaknya. Perempuan jadi kunci pembentukan kualitas sumber daya manusia anak-anaknya. Keempat, kredit merupakan jembatan emas menuju persamaan hak terhadap lelaki. Bantuan kredit kepada mereka tidak hanya meningkatkan usaha ekonomi dan kesejahteraan keluarganya, tapi juga berdampak meluas terhadap warga masyarakat lain.

Hasil sejumlah survei menunjukkan: persentase pekerja di pedesaan umumnya 4 persen, di desa GB sebesar 5 persen; persentase jumlah anggota keluarga yang bekerja di desa GB 1,75, di desa non-GB 1,43 orang; jam kerja di desa GB meningkat dari 6 jam jadi 18 jam; penghasilan rumah tangga nasabah GB lebih besar 28 persen ketimbang bukan nasabah, bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata rumah tangga di desa yang tak ada GB pendapatannya 43 persen lebih tinggi (Rasid, 1997). Studi Hashemi dan Schuler (1996) menemukan: ada korelasi signifikan antara keanggotaan GB dan pemberdayaan kehidupan sosial (dalam kontrasepsi; pemberontakan sistem patriarkat; dan politik). Artinya, keberadaan GB selain membuat ekonomi warga miskin "menggeliat", secara sosial-politik mereka teberdayakan. Tidak salah, panitia Nobel mengganjar Yunus dengan Nobel Perdamaian 2006. Sejauh ini, tak terhitung program dan usaha yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Tanpa mengecilkan hasil yang dicapai, sampai sekarang penduduk miskin masih bejibun. Dua tahun Presiden Yudhoyono berkuasa, kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan tidak menurun, tapi justru naik. Di tengah membaiknya berbagai indikator makroekonomi, setahun terakhir kemiskinan justru meningkat dari 16 persen menjadi 17,75 persen, gizi buruk dari 1,8 juta menjadi 2,3 juta, dan pengangguran dari 10,4 persen menjadi 11,85 persen. Apa yang salah dengan program antikemiskinan di sini? Tak lain karena upaya pemerintah mengentaskan masyarakat miskin dan memberdayakan ekonomi rakyat direduksi hanya dilihat dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa modal merupakan segala-galanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam: keahlian dan keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi (Suyanto, 1997; Dieter Evers, 1995; Sutojo dkk, 1994). Menurut Chambers (1987), ada lima ketidakberuntungan pada kelompok rumah tangga miskin, yaitu kerentanan, kelemahan fisik, derajat isolasi, keterbatasan pemilikan aset, dan ketidakberdayaan.Upaya pemberdayaan warga miskin tidak jauh dari penanganan hal-hal di atas. Pemberian "kail", dan bukan "ikan", sebagai strategi pemberdayaan ekonomi rakyat pun dirasa tidak memadai.

Kelompok miskin juga perlu diajari bagaimana cara memancing yang baik. Bahkan ada persoalan mendasar bahwa kelompok miskin yang diberdayakan itu juga perlu dijamin agar "sungai" atau "kolam" yang dipancing tidak keruh dan sustainable. Bagaimana mereka bisa mancing jika kolamnya sudah dikaveling orang lain?Mengapa Yunus berhasil memberdayakan ekonomi rakyat? Pertama, GB secara nyata meletakkan mekanisme demokrasi ekonomi secara riil. Ini diwujudkan dalam bentuk akses yang sama setiap orang terhadap kredit. Yunus berargumen, setiap individu bebas mengejar kepentingan ekonominya, sejauh individu-individu itu memiliki akses yang sama untuk memasuki pasar. Kedua, operasi GB hidup dalam konteks sosial yang demokratis. Kemiskinan tidak jadi obyek politik--seperti yang terjadi di Indonesia selama ini, sehingga pemerintah berkepentingan menetapkan garis kemiskinan menurut selera.

Kredit yang diberikan GB justru mampu memerangi ekstremitas politik di Bangladesh. Berkurangnya marginalisasi ekonomi ternyata mampu mengurangi marginalisasi politik. Ketiga, kelompok sasaran dibina secara intensif, dari pengarahan tentang tanggung jawab kredit, cara pengembalian beserta kewajiban pembayaran bunga, hingga rate income generation regeneration (uji kelayakan). Tak mengherankan, kini konsep GB diadopsi di puluhan negara. Bisakah kita belajar dari Yunus dan GB untuk memberdayakan ekonomi rakyat?

Khudori, PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN

Thursday, March 02, 2006

The price of rice

Jeremy P Mulholland & Ken Thomas
Inside Indonesia
No. 58 April -June 1999

Bulog had to feed Indonesia, pacify farmers, and support Suharto’s industrialisation policy. What will happen to it now?

Bulog, the national logistics board that controls the supply of rice and other basic commodities, has as many enemies as it does friends. Some praise it for maintaining rice supplies in difficult circumstances while keeping the price down. Others (including the IMF) criticise it for monopolistic practices. Some argue that Article 33 of the Constitution obliges the state to control the supply of basic commodities. But it has been undeniably corrupt in performing its functions.
Established on 11 May 1967, Bulog forms an important part of the New Order’s economic history. Industrialisation was the Procrustean bed of all policy in that period, particularly from the early ‘80s. To promote industry, the government aimed to increase rice production while keeping prices low for consumers so they would not demand higher wages. To stimulate production, the government improved infrastructure, especially irrigation.

Initially, the agency’s primary function was to purchase basic commodities for public servants and the military. From 1970 it was required to control the price and distribution of basic staples, especially rice and flour, important to social stability. Bulog was not alone in making rice policy. The other principal actors included the National Planning Board (Bappenas), the Co-ordinating Minister for Economics, Finance and Industry (Ekuin), the Minister of Finance, and the Minister of Agriculture. In the background stood the President, who had the final say.
Bulog had to stabilise the price of rice for both producers and consumers. It did this by setting a ceiling price for the benefit of consumers, and a floor price for producers. As far as consumers were concerned it was necessary to have adequate stocks available. This meant running stocks down when there was a surplus and the reverse when there was a shortage, usually by increasing imports. At the appropriate times, the agency purchased rice from the domestic or the international market.
On the production side, to encourage farmers to produce more it was essential to set a price which would act as an incentive. Bulog did this by entering the market when the price fell, withdrawing as it rose above the floor. Rice production increased beyond all expectations, threefold under the New Order. Increased production was essential to provide for the increasing numbers moving into the industrial sector as well as for an expected population increase. Bulog’s contribution through its management of the ceiling and floor prices was important. By the end of the period, the agency had warehouses scattered throughout the archipelago.

Not all farmers benefited equally from the operation of Bulog’s floor price, given the unequal distribution of land and therefore income. The use of new high-yielding seed varieties, introduced in 1967, enabled farmers to increase yields considerably and, with irrigation, to double crop. The main beneficiaries from the stimulus of Bulog's floor price and subsidies for fertilizers were the 20 percent of farmers with more than half a hectare of wet rice. The government seemed to be thinking along the lines of land reform and other measures to reduce inequalities among farmers in the late ‘70s, but eventually the discussion lapsed.

The agency's use of the government sponsored village cooperatives (Koperasi Unit Desa or KUD ) points to another element in the background to the progress of the ‘green revolution' under its auspices. These cooperatives were composed of the richer farmers, were presided over by the head of the subdistrict (the camat) and were designed to implement government policy, not to act as independent agents.
The presence of the non-commissioned officers known as babinsa in the village also served to minimise dissent with government policies. And it should not be forgotten that fear was an all-pervasive factor during the New Order, as an aftermath of the abortive coup in October 1965. Anyone who thought of opposing government polices would have thought twice about voicing discontent, and the babinsa would have been a constant reminder of the likely price of resistance.

It may well be that the open violence Indonesia is now experiencing is a late expression of anger at the way farmers were pressured to adopt the new seeds varieties, to the benefit of some but at a high social cost to most.
With the end of the New Order and the approaching elections, we may well ask what the fate of the government’s industrialisation policy will be, and along with it the policy on rice and Bulog’s role. Which interest group - rice consumers or rice producers - will now win out in rice policy?

Suharto’s friends

Since the late 1950s the ups and downs of particular business groups have generally been linked to powerful political actors. This pattern of patronage is also evident in the food sector. Bulog functioned as a ‘centre of the state’ during the New Order - comparable to the State Oil Company (Pertamina), the State Electricity Company (PLN), or Habibie’s Technology and Assessment Body (BPPT). Ever since Bulog’s operations commenced in May 1967, it has been an important ‘incubator of state tutelage’ (as Richard Robison once put it), aiming to promote private business that would help the state.

It helped accelerate the growth of the private Salim Group, owned by Suharto’s long-time friend Liem Sioe Liong, a Chinese Indonesian whose adopted name is Sudono Salim. The Salim Group’s astounding expansion and growth into many unrelated industries, from shipping to banking, all started with flour. Ever since 1969, the Salim subsidiary PT Bogasari Flour Mills has monopolised the import, milling and distribution of wheat. It became the largest domestic wheat flour producer, and one of the largest instant noodle producers and exporters in the world. It achieved this prominence because of support from Bulog. In return, the Salim group became one of the strongest private supporters of the New Order’s high economic growth.

An important part of New Order capitalism was the ‘tax free charitable foundation’, known as the yayasan. Controlled by top New Order officials, several of these bodies served as financial centres for the repayment of Salim’s ‘gratitude’ (hutang budi) to Suharto and his regime. The diversified Yayasan Harapan Kita (controlled by Suharto himself) and the Yayasan Dharma Putra Kostrad (run by the elite military unit Kostrad) received huge ‘financial contributions’ - purportedly 26% of their incomes - from Bogasari Flour Mills. The expectation of such a quid pro quo among friends was presumably the reason why Bulog helped accelerate the Salim Group’s growth in the first place and was an important element in the creation of a powerful network of conglomerates.

In turn, these yayasan (and others like them) were able to finance ‘palace circle’ ventures in a multitude of different sectors within the Indonesian economy, as well as to ‘bail out’ troubled (Suharto-linked) banks or private businesses. They helped create a tightly interrelated private sector network, with the aim of fostering well-connected private conglomerates. These conglomerates, it should be acknowledged, also contributed to real economic growth.
Realignment

The toppling of Suharto, and Indonesia’s recent economic devastation, have induced a re-configuration of patronage flows. The untimely (albeit honourable) dismissal in August 1998 of Beddu Amang, the head of Bulog, was an important indication of a realignment within Bulog’s ‘politico-bureaucratic web’. Beddu had refused to permit any erosion of the Salim Group’s monopoly of the wheat and sugar industries. He was ‘posted’ to another, less powerful, position in the Finance Department.
With Suharto no longer directly involved in these matters and facing enough difficulty of his own to help the Salim Group, Bulog’s role appears to be shifting towards a more nationalistic orientation of fostering non-Chinese capitalists. Possibly with the support of Indonesia’s top economic minister, Ginanjar Kartasasmita, Bulog now seems to be supporting a shift away from the (Chinese-owned) Salim Group, towards the Bakrie Group controlled by Aburizal Bakrie. There has been speculation that a new group of powerful post-Suharto political actors, among them Ginanjar, Coordinating Minister for the Economy, Finance and Industry, who also heads the Planning Bureau (Bappenas), Rahardi Ramelan, Minister of Industry and Trade, and Adi Sasono, Cooperatives Minister, now have enough control over the levers of patronage to support the growth and expansion of the Bakrie Group into the future, mirroring the Salim Group’s past commercial ascension.

But Bulog remains embroiled in corruption revelations, which demonstrate that any internal change is not going unchallenged. There is controversy over the tendering process for certain food monopolies awarded to Singapore-based PT Bakrie Nusantara International, a financial arm of the Bakrie Group. Also, a land-swap deal involving Bulog is being investigated by the Attorney General’s office. Among the prominent witnesses are Tommy Suharto and Beddu Amang.

Bulog now has Rahardi Ramelan as interim head, and its wings have been clipped: it is said that in 1999 it will be responsible only for rice stabilisation. The question for any new government will be the balance between growth and equity in its rice policy. Bulog would have a role to play in either case. Over time it has developed a certain level of skill, and it still has the warehouse capacity throughout the county to handle large-scale rice imports. The availability of rice for the consumer, and satisfactory returns to farmers whatever the size of their holdings, will remain important government concerns for decades to come.

Wednesday, February 08, 2006

Reformasi Pertanian: Pencapaian Swasembada Pangan melalui Cooperative Farming Complex

Majalah Inovasi Vol.1/XVI/Agustus 2004 - Topik Utama
Oleh: Kuntoro Boga Andri

Dalam upaya pencapaian kembali swasembada pangan, ada sejumlah tantangan yang mesti kita perhatikan, khususnya pencabutan subsidi pertanian serta inefisiensi skala ekonomi. Penguasaan lahan yang sempit dalam usahatani secara ekonomis akan tidak efisien, apalagi jika ditambah dengan kondisi perpecahan dan perpencaran (division and fragmentation). Keadaan ini terjadi dari waktu ke waktu dinegara kita dengan maraknya peralihan fungsi lahan dan jual beli lahan pertanian. Juga akibat sistem pewarisan yang berlaku di masyarakat, system penyakapan (tenancy) dan pertambahan penduduk. Disisi lain kegiatan pertanian yang dilakukan secara umum masih bersifat individual, sedangkan kelompok tani atau lembaga agribisnis lokal yang ada masih lebih banyak melaksanakan fungsi sosial daripada fungsi-fungsi bisnis. Karena itu perlu model baru manajemen usahatani.

Cooperative Farming Complexes
Ada konsep untuk sistem pengelolaan lahan satu hamparan secara efisien oleh sekelompok petani dalam suatu manajemen bersama atau populer dalam istilah Cooperative Farming Complexes (CFC). Model ini sejak lama berkembang dan dipraktekkan oleh beberapa negara maju seperti Jepang dan negara-negara Eropa dalam menghadapi masalah inefisensi produksi akibat sempitnya lahan.

Sejak era reformasi bergulir, banyak peneliti, birokrat dan penentu kebijakan di bidang pertanian menyadari bahwa model pertanian skala kecil tidak lagi dapat berjalan sendiri-sendiri. Untuk menghadapi tantangan yang semakin besar petani membutuhkan kekuatan untuk mendapatkan modal, penggunaan mesin-mesin pertanian, pengetahuan dan penerapan akan teknologi yang tepat, serta pemasaran produk dengan harga yang layak. Tantangan sektor pertanian baik yang bersifat internal maupun external mensyaratkan keunggulan komparative dimana sistim agribisnis yang dikembangkan harus lebih berorientasi kepada pasar dan peningkatan effisiensi sistem produksi.

Revitalisasi kelompok tani dalam sistem agribisnis dirasakan sangat perlu. Oleh karena itu dalam usaha pemberdayaan petani kecil di pedesaan beberapa tahun terakhir ini munculah penjabaran model CFC. Contohnya melalui pelaksanaan beberapa program pemberdayaan kelompok tani berskala nasional dan dilakukan secara simultan oleh departermen terkait bersama seluruh stakeholder baik berupa percontohan maupun penerapan dalam skala luas seperti program Corporate Farming, Cooperative Farming, ataupun Contract Farming Group yang menempatakan kelompok tani sebagai pelaku utama kegiatan agribisnis. Dari model-model tersebut diharapkan tercipta suatu usaha terpadu yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas usahatani yang berorentasi pasar.

Hal lain yang diperhatikan dalam usaha pembangunan pertanian secara umum ialah masalah kualitas sumberdaya manusia. Disini peran orang luar dalam kelompok tani deperkenalkan melalui fungsinya sebagai seorang konsultan, manajer kelompok ataupun penyuluh dari instansi terkait dalam upaya pemberdayaan kelompok. Pengenalan peran manajer dalam usaha produksi kelompok dan pemasaran kiranya perlu mengacu pada suatu model organisasi agribisnis yang efektif. Dari banyak program yang telah dilakukan diatas patut kiranya didukung dan diupayakan sebagai model pencapaian swasembada pertanian melalui penggalian potensi lokal.

Keunggulan Model CFC
Melalui model ini dapat diperoleh bermacam manfaat bagi para petani anggota kelompok maupun masyarakat di lingkungannya, baik manfaat ekonomi maupun sosial. Ada sejumlah manfaat ekonomi sebagai berikut.

Pertama, efisiensi produksi; CFC akan meningkatkan efisiensi khususnya dalam penggunaan tenaga kerja dan mesin pertanian. Kedua, meningkatkan negotiation power; Dengan model ini baik dalam pemasaran hasil komoditas maupun pembelian bermacam saprotan dan barang investasi, negotiation power petani akan meningkat karena dilakukan secara kelompok. Ketiga, terciptanya efisiensi dan efektifitas manejemen; pengelolaan hamparan secara umum dilakukan oleh seorang manajer profesional yang dalam prakteknya semua kegiatan dimusyawarahkan sebelumnya dengan para anggota. Keempat, aktivitas nonfarm; bila efisiensi dari tenaga kerja tercapai, maka curahan waktu tenaga kerja yang berlebih dapat dialihkan untuk berbagai macam kegiatan nonfarm guna memperoleh tambahan penghasilan. Kelima, peningkatan pendapatan; Dengan berbagai macam keuntungan yang diperoleh diharapkan pendapatan petani meningkat.

Adapun manfaat sosial yang diperoleh dari model ini antara lain sebagai berikut. Pertama, pendidikan bagi masyarakat pedesaan; model ini dapat menjadi ajang pendidikan organisasi kerakyatan bagi masyarakat pedesaan dalam usaha mencapai tujuan bersama. Kedua, menghidupkan kembali gairah ekonomi kerakyatan; dengan terbentuknya sentra-sentra ekonomi pertanian yang tangguh kegiatan agribisnis akan berjalan, pasar akan terbentuk, Ketiga, gairah gotong royong dan demokratisasi; CFC akan memberikan efek positif berupa perasaan memiliki dari para anggota, yang akan berlanjut pada komitmen mereka untuk bekerja bersama melalui kelompok.

Model tersebut memang selama ini terbukti di beberapa negara seperti Jepang. Namun, untuk diterapkan di Indonesia, diperlukan berbagai penyesuaian dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi yang ada.

Thursday, January 05, 2006

Banjir dan Hutan Gundul

FOKUS, Kompas Cyber Media
Jakarta, Kamis, 05 Januari 2006, 05:41 WIB

Hujan yang turun terus menerus sejak akhir tahun 2005 hingga memasuki tahun 2006 menimbulkan banjir di beberapa daerah, terutama di Pulau Jawa. Awal tahun 2006 ditandai oleh banjir bandang dan tanah longsor melanda Kecamatan Panti, Kecamatan Rambipuji, Kecamatan Tanggul, dan Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Hujan lebat sejak Minggu (1/1) malam itu menyebabkan banjir dan tanah longsor pada keesokan harinya (Senin, 2/1). Terjadinya banjir bandang dan tanah longsor yang mengagetkan penduduk Jember mengakibatkan 51 orang tewas, ratusan rumah hancur, ratusan hektare sawah rusak, dan ratusan warga terjebak dan terisolasi karena jembatan terputus.
Sampai saat ini tim SAR terus bekerja keras menyelamatkan penduduk yang terjebak di tengah-tengah air bercampur lumpur. Bantuan makanan dan obat-obatan pun mengalir ke Jember.

Bupati Jember, MZA Djalal mengatakan bencana alam ini tak terlepas dari gundulnya hutan di lereng Gunung Argopuro yang merupakan hulu Sungai Kaliputih, Sungai Bedadung dan Sungai Jompo. Namun Gubernur Jatim, Imam Utomo, membantah musibah ini akibat gundulnya hutan gara-gara penebangan liar. Penyebabnya di aliran sungai terdapat lumbung-lumbung. Seharusnya air keluar dari lumbung, tetapi salurannya tertutup kayu yang sudah tua sehingga air tersumbat.

Selain Jember, tanah longsor juga menimpa Banjarnegara, Jawa Tengah. Tanah longsor menimbun Kampung Gunungrejo di Kecamatan Banjarmangu, sekitar 15 kilometer arah utara kota Banjarnegara, Rabu (4/1) dini hari. Seperti diberitakan Kompas (Kamis, 5/1), dari lima RT di kampung yang berpenduduk 655 jiwa itu, hanya satu RT yang selamat dari musibah.
Kita sungguh prihatin atas terjadinya bencana banjir dan tanah longsor yang menimpa Pulau Jawa. Hujan lebat sepanjang Januari-Februari seharusnya membuat wilayah lain di Indonesia siap siaga mengantisipasi kejadian serupa. Namun, kita lebih prihatin lagi karena hutan sebagai penyangga air hujan justru sebagian besar gundul akibat penebangan yang membabi buta. Padahal hutan gundul sangat berpotensi menimbulkan bencana alam, seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Dirut Perum Perhutani, Transtoto Handadhari, mengakui 60 persen hutan Perhutani di Pulau Jawa berpotensi rawan bencana akibat penjarahan. Bahkan Menhut MS Kaban pun membenarkan, secara nasional luas hutan yang dipastikan gundul mencapai 59,2 juta hektar, dari total luas hutan 120,35 juta hektar.

Pengalaman membuktikan bahwa ulah manusia merusak hutan, melakukan penebangan secara serampangan merupakan bom waktu di kemudian hari. Namun, hal ini berkali-kali terjadi, hutan tetap saja dijarah, sedangkan penanaman kembali tidak secepat penjarahan itu terjadi. Semestinya manusia hidup bersatu dengan alam dan memelihara lingkungan sekitar. Jika lingkungan dirusak, akibatnya sungguh luar biasa, dan akhirnya manusia juga yang menderita.

Wednesday, December 21, 2005

Petani

KAPAS menjadi simbol penting sebuah pertempuran berlarut-larut, melelahkan, dan makan ongkos besar. Di Hong Kong, tuan rumah hajatan akbar World Trade Organization, ihwal kapas itu tak juga tuntas. Tuntutan negara berkembang, juga Eropa, agar Amerika memangkas subsidi bagi petani kapas, tak usai dibahas.

Rapat di Hong Kong itu sebetulnya punya tujuan mulia. Agenda Pembangunan Doha, yang macet sejak 2003, diharapkan selesai. Yang terjadi sebaliknya: kesenjangan negara berkembang yang tergabung dalam G-20 dengan negara maju di G-7 makin melebar. Biangnya produk pertanian.Tahun lalu, total perdagangan barang dan jasa dunia sekitar US$ 11 trilyun. Sebanyak US$ 800 milyar berupa produk pertanian. Persentasenya kecil. Tapi masalah pertanian selalu menempati isu sensitif.

Kecil di rupiah, besar di massa; modal utama politikus untuk mendapat kursi.Di Arkansas, Amerika Serikat, pergulatan atas nama rakyat itu terjadi. Pemerintah federal tiap tahun menyubsidi US$ 360.000 per petani --tak terbayang gedenya bagi petani kita. Bantuan itu membuat Arkansas sukses sebagai penghasil sepersepuluh kapas Amerika. Tapi gelontoran dolar sebesar itu dipandang menabrak rambu. Negara tetangga, Brasil, membawa kasus subsidi kelewat gede ini ke WTO.

Presiden George Bush lalu memangkas subsidinya menjadi US$ 250.000. Menipis, tapi masih kelewat besar ketimbang yang diterima dari pemerintah oleh petani di negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia. Ganti kini Senator Partai Demokrat, Blanche Lincoln, yang memang dari keluarga petani, berkampanye menentang Bush.Para petani kapas juga menjerit. Mereka butuh subsidi besar agar kapasnya bisa bersaing. Meski menggunakan imigran gelap, upah mereka jauh di atas buruh tani di negara berkembang, yang kadang hanya US$ 1 per hari.

Sejak didirikan pada 1995 sebagai metamorfosis Perjanjian Bersama dalam Tarif dan Perdagangan (GATT), WTO diharapkan menjadi hakim adil atas ketimpangan perniagaan dunia. Negara yang culas dalam perdagangan dihukum. Indonesia pernah diberi sanksi dalam kasus mobil nasional Timor. Sebaliknya, dalam dumping kertas lawan Korea, Indonesia menang.

Dalam prakteknya, WTO dinilai masih memble. Bahkan Profesor Arvind Panagriya, guru besar ekonomi Columbia University, School of International and Public Affairs, New York, menilai negara majulah biang proteksi produk pertanian. WTO belum bisa membuat alur perdagangan menjadi adil dan lancar (Agricultural Liberalization and the Least Developed Countries: Six Fallacies, 2005).

Apa yang disampaikan Arvind itu bisa kita lihat dengan kasatmata: betapa dominan negara maju dalam setiap pengambilan keputusan. Di samping itu, definisi ala WTO, meski detail, masih bisa dimainkan.''Subsidi'' dan ''proteksi'', misalnya. Dua kata yang cenderung menabrak rambu perdagangan adil itu faktanya bisa ditarik ke mana pun. Masyarakat Eropa, yang gencar mengajari negara lain taat hukum, dewasa ini memberi subsidi teramat besar bagi petani. Total sekitar US$ 350 milyar subsidi negara maju untuk petani. Tapi, baik Amerika maupun Eropa sama-sama menuding: pihak ''sana'' sebagai pelanggar aturan WTO.

Dengan kondisi yang centang perenang itu, kita bisa memaklumi bila petani Korea Selatan, Indonesia, Brasil, tak ragu nglurug ke Hong Kong. Mereka berdemo, menuntut produk pertanian tak diliberalkan.Tingginya subsidi negara maju membuat kita maklum bila produk pertanian Indonesia terasa amat mahal. Namun berharap pihak lain memangkas proteksinya begitu saja tak gampang.

Karena itu, program efisiensi pertanian di dalam negeri haruslah terus berjalan. Saluran irigasi kudu dipermak. Lahan petani yang kecil-kecil dan tersekat oleh pematang, yang membuat pengolahan pertanian tak efisien, harus ditambal. Sayangnya, konsolidasi lahan pertanian, yang berhasil dilaksanakan di Cianjur, tak bisa berlangsung di tempat lain.Memprotes WTO mungkin perlu. Tapi masih banyak hal nyata lain yang bisa kita lakukan.

iwan@gatra.com[Lensa, Gatra Nomor 6 Beredar Senin, 12 Desember 2005]