<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d11637458\x26blogName\x3dGreen+Visions\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://greenvisions.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://greenvisions.blogspot.com/\x26vt\x3d-8785138192905160848', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Monday, March 28, 2005

Perlu Regulasi Pembayaran Jasa Lingkungan

KOMPAS, Rabu, 16 Februari 2005
Jakarta, Kompas - Indonesia membutuhkan regulasi tentang pembayaran jasa lingkungan atau yang dikenal sebagai Payments for Environmental Services alias PES. Regulasi yang dimaksud harus memperkuat mekanisme normatif yang sudah berkembang di masyarakat.

Demikian antara lain rekomendasi yang dihasilkan dalam lokakarya Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan, yang berlangsung dua hari, Senin-Selasa (14-15/2) di Jakarta.
Lokakarya-yang diikuti sekitar 60 peserta dari berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat serta sektor swasta- itu diselenggarakan oleh Rewarding Upland Poor for Environmental Services, bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Ford Foundation.

Sejauh ini regulasi tentang pembayaran jasa lingkungan baru pada tingkat peraturan daerah (perda). Sebagai contoh, pembayaran jasa lingkungan daerah aliran sungai (DAS) Cidanau di Provinsi Banten mengacu kepada perda provinsi. Hal yang sama diterapkan melalui perda kabupaten di Lampung Barat.

Dalam diskusi, berkembang pemikiran untuk tidak perlu membuat regulasi baru. Ketentuan tentang pembayaran jasa lingkungan cukup dimasukkan ke regulasi yang sudah ada. Misalnya, undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang subsidi atau pajak.

Para peserta sepakat bahwa regulasi itu nantinya dibuat dengan melibatkan seluruh pemangku peran (stakeholders), dengan berdasarkan pada suatu draf akademik. Ditekankan pula agar regulasi itu mengakomodasi hukum-hukum adat dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Rekomendasi lainnya dari lokakarya tersebut adalah agar pembayaran jasa lingkungan dipahami sebagai biaya kelola lingkungan dan kelola sosial sehingga merupakan biaya produksi jasa lingkungan itu sendiri. Perlu ada kelembagaan tersendiri untuk pembayaran jasa lingkungan, termasuk lembaga keuangannya.

Untuk mendukung jalannya rekomendasi tersebut, dibentuk community of interest (komunitas dengan kepentingan yang sama) dengan dimotori sembilan orang dari peserta lokakarya. Mereka akan menyusun mekanisme komunikasi, merancang garis besar kegiatan, dan membentuk gugus tugas (working groups).

Model DAS CidanauDalam lokakarya itu, lembaga swadaya masyarakat Rekonvasi Bhumi memaparkan model pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Mekanisme pembayarannya dirancang untuk mengontrol dan mengatasi penebangan hutan (deforestasi).
Mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), yang mempertemukan masyarakat yang tinggal di hulu sungai sebagai "penjual" dengan PT Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai "pembeli".

FKDC melakukan negosiasi dengan PT KTI untuk pembayaran jasa lingkungan, kemudian hasilnya dituangkan dalam naskah kesepahaman dan perjanjian pembayaran jasa lingkungan antara FKDC dan PT KTI. Forum itu juga mendiskusikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dengan masyarakat pemilik hutan di hulu DAS Cidanau.Hasilnya, PT KTI setuju membayar jasa lingkungan secara sukarela (voluntary) selama lima tahun. Dua tahun pertama, PT KTI bersedia membayar Rp 175 juta per tahun. Adapun untuk tiga tahun berikutnya, akan dinegosiasikan kemudian antara PT KTI dan FKDC.Masyarakat di lokasi model akan menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1,2 juta per hektar per tahun selama lima tahun.

Ketentuannya, lahan masyarakat yang berhak menerima pembayaran jasa lingkungan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon pada tahun pertama. Selanjutnya, masyarakat akan menerima pembayaran jasa lingkungan minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima.

Sementara itu, Herman Rosa dari Programa SalvadoreƱo de InvestigaciĆ³n Sobre Desarrollo Medio Ambiente memaparkan beberapa contoh kasus kompensasi jasa lingkungan di negara-negara Amerika. Kosta Rica, misalnya, sudah lebih maju karena pembayaran jasa lingkungan diatur berdasarkan regulasi oleh negara, antara lain melalui pajak.
Lombok Barat

Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lombok Barat H Suhayatman Sutamin mengemukakan bahwa konsep pengembangan jasa lingkungan di wilayahnya sudah sampai pada tahap penyamaan persepsi pada tingkat pengambil kebijakan.

Menurut dia, telah terbentuk tim kecil dan penyusun rancangan perda pemanfaatan jasa lingkungan dengan melibatkan unsur-unsur dari lembaga yang memiliki komitmen, seperti WWF Nusa Tenggara, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pariwisata, serta jajaran pemerintah daerah dan legislatif. (LAM)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home